Share
Perbincangan untuk mensinergikan langkah pembangunan rendah karbon antara pusat dan daerah kembali berlangsung melalui forum dialog multipihak nasional–daerah bertajuk “Akselerasi Implementasi dan Pembiayaan Pembangunan Rendah Karbon 2025–2029”. Dialog ini berlangsung pada Jumat, 17 Oktober 2025 di Hotel Westin, Jakarta. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Low Carbon Development Initiative (LCDI), hasil kolaborasi antara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas RI) dan UK Foreign, Commonwealth, and Development Office (FCDO), serta INFID. Acara diikuti oleh 142 peserta terdiri atas 80 peserta secara luring (38 peserta perempuan dan 42 laki-laki) dan 62 peserta secara daring. Kegiatan ini melibatkan pejabat kementerian/lembaga, pemerintah daerah, DPRD provinsi, organisasi masyarakat sipil (OMS), kelompok orang muda, sektor swasta, akademisi, serta mitra pembangunan.
Tujuan strategis kegiatan ini adalah untuk memperkuat pemahaman bersama mengenai arah kebijakan pembangunan rendah karbon berketahanan iklim (PRKBI) dalam rencana pemerintah jangka menengah nasional (RPJMN) 2025 – 2029. Hal ini termasuk menggali implikasinya terhadap perencanaan pembangunan nasional dan daerah, sekaligus mengidentifikasi peran dan bentuk kepemimpinan sinergis antara pemerintah nasional dan daerah dalam mempercepat implementasi PRK yang inklusif dan efektif. Lebih jauh, forum ini juga secara interaktif mengeksplorasi opsi-opsi pembiayaan inovatif dan realistis, baik dari sumber publik maupun non-publik, untuk mendukung keberlanjutan implementasi PRKBI di nasional dan daerah.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Nizhar Marizi membuka forum dengan menekankan urgensi integrasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Ia menyatakan bahwa Indonesia menghadapi Triple Planetary Crisis, dengan laporan Planetary Health Check September 2025 menunjukkan 7 dari 9 batas aman planet telah terlampaui, termasuk kenaikan suhu global 1,5°C yang mengancam 23 juta penduduk di 199 kabupaten/kota. Marizi menyoroti target Net Zero Emission (NZE) 2060 melalui rencana pemerintah jangka panjang nasional (RPJPN) 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029, dengan fokus pada transisi energi bersih, pengendalian deforestasi, dan ekonomi sirkular. Ia juga menggarisbawahi kesenjangan pembiayaan nationally-determined contribution (NDC) 2030 dengan kebutuhan Rp 4,000 triliun, namun alokasi anggarannya hanya Rp 305 triliun. Marizi menyebut perlunya strategi seperti sinergi fiskal, green bond, serta peningkatan kapasitas daerah untuk proyek bankable.

Direktur Eksekutif INFID Siti Khoirun Ni’mah turut memantik percakapan berbasiskan kajian INFID mengenai PRKBI di empat wilayah (Maluku, Sawahlunto-Sumut, Riau, dan Sumatera Utara). Ni’mah menyampaikan sejumlah kemajuan, seperti komitmen kepala daerah dalam visi-misi hijau dan inisiatif “Riau Hijau”, namun menyoroti tantangan utama: kewenangan sektoral terpusat di pemerintah pusat, keterbatasan informasi PRKBI, lemahnya koordinasi antar dinas, pemahaman yang masih rendah, minimnya partisipasi kelompok rentan, kelembagaan tidak optimal, alokasi anggaran khusus PRKBI minim, serta investasi swasta yang terbatas.
Forum ini terbagi ke dalam dua sesi diskusi utama. Sesi pertama menghadirkan narasumber dari daerah: Wakil Ketua I DPRD Provinsi Sumatera Utara Dr. Sutarto, M.Si; Wakil Ketua III DPRD Maluku Abdul Aziz Sangkala, S.Hut., M.Si; serta Kepala Bappeda Provinsi Maluku Dr. Anthon A. Lailossa, ST., M.Si. Moderator Verena Puspawardani dari LCDI Program memandu diskusi. Sesi kedua melibatkan Direktur Penghimpunan dan Pengembangan Dana Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kemenkeu RI Endah Tri Kurniawati, S.Hut., ME., MPA, serta Direktur Eksekutif Viriya ENB (Visi Indonesia Raya Emisi Nol Bersih) Suzanty Sitorus. Kesimpulan disampaikan oleh Program Manager INFID Abdul Waidl.
Presentasi Dr. Sutarto menekankan peran strategis DPRD Sumatera Utara dalam implementasi PRKBI. Ia mengilustrasikan potensi bahaya perubahan iklim di provinsi tersebut, di mana 40,6% wilayah pesisir memiliki kerentanan tinggi (Coastal Vulnerability Index/CVI kelas 4), termasuk kabupaten seperti Asahan, Batu Bara, Deli Serdang, hingga Kota Medan. Potensi kekeringan mencapai penurunan ketersediaan air 12,3% pada 2024, penurunan produksi padi 10,1–17,5%, serta peningkatan kasus penyakit seperti DBD dan malaria. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 20,48% PDRB Sumatera Utara pada 2019, sehingga ancaman ini berpotensi mengganggu perekonomian daerah. Sutarto merekomendasikan penguatan legislasi daerah untuk anggaran hijau dan kolaborasi dengan pusat.
Sementara itu, Dr. Anton A. Lailossa memaparkan peran Ecological Fiscal Transfer (EFT) dalam meningkatkan kualitas lingkungan di Maluku. Dengan karakteristik kepulauan, provinsi ini menghadapi kesenjangan fiskal, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, kerentanan iklim, masalah sampah, serta kurangnya insentif ekologis. EFT diusulkan sebagai mekanisme transfer fiskal berbasis kinerja lingkungan, memberikan insentif bagi daerah yang menjaga ekosistem, seperti restorasi mangrove atau pengelolaan sampah. Model ini dapat diintegrasikan dengan Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendorong proyek bankable di tingkat lokal.
Puncak diskusi terletak pada sesi kedua opsi pembiayaan inovatif. Endah Tri Kurniawati dari BPDLH memberikan gambaran komprehensif tentang ekosistem pembiayaan inovatif. BPDLH mengelola dana USD 1,72 miliar melalui instrumen blended/creative finance, termasuk grant, loan, dan endowment. Sektor utama meliputi AFOLU & Sustainable Ecosystem (REDD+, FOLU Net Sink, TERRA, Mangrove Rehabilitation), Just & Affordable Clean Energy (PLTS Atap, LCDI), Circular Economy & Zero Waste Emission (SGAC Seed Banyumas, DNS), serta Climate & Disaster Resilience (Catalytic Fund, Disaster Risk Finance and Insurance/DRFI). Mekanisme derisking facility dan credit guarantee dirancang untuk menarik investasi swasta dengan mengurangi risiko, sementara safeguards memastikan kepatuhan terhadap regulasi, kondisi kerja, efisiensi sumber daya, kesehatan masyarakat, konservasi biodiversitas, hak masyarakat adat, dan kesetaraan gender.
Suzanty Sitorus dari Viriya ENB menambahkan perspektif sektor swasta, menekankan pasar karbon dan impact fund untuk emisi nol bersih. Kolaborasi multipihak menjadi kunci, di mana OMS dan akademisi dapat memantau melalui dimensi tata kelola, sementara DPRD provinsi mengawal legislasi.
Diskusi ini menghasilkan sejumlah rekomendasi tindak lanjut konkret yang muncul dari dinamika dialog interaktif bersama para peserta.
- Memperkuat tata kelola dan kepemimpinan daerah dalam agenda PRKBI, termasuk menerapkan prinsip kepemimpinan ramah lingkungan sebagai pendorong utama perubahan, dengan mengintegrasikan visi pembangunan berkelanjutan ke dalam RPJMD serta memastikan kesinambungan lintas periode melalui pelatihan kapasitas.
- Pemda perlu mengantisipasi penurunan Transfer ke Daerah (TKD) yang berdampak kepada rencana pembangunan rendah karbon dengan cara mempertimbangkan sumber pembiayaan alternatif, seperti Dana Insentif Fiskal (DIF), Ecological Fiscal Transfer (EFT), dan Innovation and Technology Fund (ITF) dari BPDLH.
- Mendorong rancangan target dan penyerapan pendanaan melalui mekanisme derisking facility dan credit guarantee untuk menarik investasi swasta.
- Tingkatkan sinergi nasional-daerah melalui koordinasi kebijakan fiskal dan forum multipihak yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menyusun prioritas, memadukan pembiayaan inovatif, dan untuk memantau capaian secara transparan dengan sistem monitoring, reporting, verification (MRV) dan sistem registri nasional (SRN). Proses ini juga penting untuk mengintegrasikan prinsip gender equality, disability, social inclusion (GEDSI) agar manfaat bisa dirasakan secara inklusif oleh masyarakat rentan.
- Implementasi perlu fokus pada lima area strategis, yaitu transisi energi bersih, rehabilitasi ekosistem, ekonomi sirkular, proyek karbon berbasis masyarakat, dan adaptasi iklim, dengan dukungan pembiayaan dari BPDLH dan LCDI melalui proyek bankable.

