Skip to main content
December 2, 2025 Newsabduns abduns6 Minutes

Share

Dua delegasi INFID menghadiri International Civil Society Week (ICSW) yang diselenggarakan di Thammasat University, Bangkok, Thailand pada 1-5 November 2025. Kegiatan tersebut bertajuk “Celebrating Citizen Action: Reimagining Democracy, Rights, and Inclusion for Today’s World”.

ICSW merupakan kegiatan tahunan yang bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada para aktivis, gerakan, dan masyarakat sipil yang telah mencapai kemajuan signifikan untuk mempertahankan kebebasan sipil, serta menunjukkan ketahanan luar biasa di tengah berbagai tantangan. Kegiatan ini sangat relevan dengan kondisi hari ini, di tengah ruang sipil yang semakin menyempit, dengan masifnya pembatasan kebebasan berekspresi, berasosiasi, dan berkumpul, di sebagian besar negara di dunia.

Mengingat konteks yang berubah dan penuh tantangan, ICSW 2025 mengajak seluruh peserta untuk bertukar gagasan untuk menemukan pendekatan advokasi yang kontekstual untuk memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia, dan inklusi sosial. Peserta diajak untuk menciptakan inovasi dalam memobilisasi gerakan baru yang lebih inklusif dan melampaui batas konvensional masyarakat sipil. Misalnya, melalui keterlibatan luas dengan komunitas akar rumput, sektor korporasi, akademisi, serta kelompok masyarakat yang lebih beragam, sehingga mampu membangun ekosistem demokrasi yang tangguh dan inklusif bagi semua.

Pada forum ini, Direktur Eksekutif INFID Siti Khoirun Ni’mah menghadiri Asia Democracy Assembly bertema “Defending Democracy, Mobilizing Movements, and New Frontiers for Citizen Action”. Sementara, MEAL & Design Lead INFID Intan Kusumaning Tiyas, menjadi salah satu pembicara pada side-event ICSW 2025 bertajuk “Digital Resistance Tactics: How Civil Society Evades Censorship, Harnesses AI, and Navigates Internet Shutdowns”.

Asia Democracy Assembly “Defending Democracy, Mobilizing Movements, and New Frontiers for Citizen Action”

Keterangan: Direktur Eksekutif INFID Siti Khoirun Ni’mah (kedua dari kanan) bersama peserta lainnya dalam ICSW 2025 di Bangkok

Asia menghadapi buruknya kualitas demokrasi dan menguatnya otoritarian. Forum mencatat terjadi ketidakpuasan terhadap elit yang sangat tinggi dimana 80% penduduk hidup di pemerintahan yang otoriter. Terjadi demokrasi performatif “demokrasi seolah-olah” yang mengemuka di Asia, dimana nampak demokratis namun elit tidak mampu mendorong perubahan structural sehingga kekuasaan baik politik maupun ekonomi terpusat di elit penguasa. Situasi tersebut terjadi karena system demokrasi electoral gagal mendistribusikan kekuasaan, merebaknya disinformasi dan narasi palsu, dan dominasi militer dimana menjadikan keamanan sebagai senjata utama.

Sejumlah strategi menjaga resiliensi demokrasi juga mengemuka dan dibahas secara mendalam di forum. Strategi tersebut meliputi pentingnya penguasaan terhadap digital. Sehingga sejumlah hal perlu dilakukan terutama oleh Masyarakat sipil seperti kemampuan memahami serangan terjadi, memperkuat pertahanan digital masyarakat sipil, hingga menggunakan ruang-ruang digital untuk menampung masukan masyarakat. Hal lainnya adalah kamampuan membangun narasi tidak hanya berpusat pada kebebasan melainkan juga pada pentingya ruang-ruang aspirasi kelompok-kelompok minoritas dan rentan di dalam kerangka Pembangunan yang inklusif dan adil.

Catatan tersebut dirangkum dari tiga (3) hari partisipasi INFID di Asia Demokrasi Assembly, yang dilaksanakan Bersama dengan pertemuan Masyarakat sipil global yaitu International Civil Society Week (ICSW) di Bangkok dari tanggal 1 sampai 3 November 2025.

Side-event ICSW 2025 “Digital Resistance Tactics: How Civil Society Evades Censorship, Harnesses AI, and Navigates Internet Shutdowns”

Keterangan: Intan Kusumaning Tiyas (perempuan berhijab), MEAL & Design Lead INFID, berbicara tentang represi digital pada side event di ICSW 2025. Foto: Dok. INFID

Beberapa negara di dunia mengalami penyempitan ruang sipil secara signifikan. Menurut CIVICUS Monitor 2024, penyempitan ruang sipil terjadi di 77 negara di dunia dengan predikat “repressed” atau “closed”. Selaras dengan Country Focus Reports EU System for an Enabling Environment for Civil Society (EU SEE) yang mendeteksi adanya peningkatan penyalahgunaan undang-undang kejahatan siber untuk membungkam dissenting voices. Amnesty International juga mencatat terdapat pemadaman internet selama protes atau pemilu yang semakin sering dan terkoordinasi.

Berdasarkan tantangan global tersebut, pada perhelatan ICSW 2025, EU SEE menyelenggarakan side-event yang berjudul “Digital Resistance Tactics: How Civil Society Evades Censorship, Harnesses AI, and Navigates Internet Shutdowns”. Side-event tersebut bertujuan untuk membahas strategi dan taktik perlawanan masyarakat sipil untuk menyikapi represi digital. Pada kesempatan yang sama, EU SEE juga memperkenalkan mekanisme Peringatan dan Pemantauan, untuk melacak tren baru serta peringatan terhadap ancaman utama terhadap lingkungan pendukung masyarakat sipil, termasuk akses terhadap lingkungan digital aman dan terbuka.

Pada diskusi ini, MEAL & Design Lead di INFID Intan Kusumaning Tiyas, menjadi salah satu pembicara bersama para aktivis dari Nepal dan Myanmar. Intan menyoroti strategi untuk menghindari represi digital, beserta risiko serta trade-off yang menyertainya. Intan juga menguraikan strategi advokasi daring dan luring, termasuk pelajaran yang dapat diterapkan pada konteks nasional.

Beberapa poin penting yang didapat dari kegiatan ini adalah; pentingnya penguasaan digital sebagai salah satu strategi resiliensi—termasuk pertahanan proaktif terhadap serangan siber dan penggunaan ruang daring untuk amplifikasi suara masyarakat; diperlukan perubahan narasi dari sekadar anti-represi ke pro-inklusi, dengan fokus pada kelompok minoritas dalam kerangka SDGs; dan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi sensor, digital surveilance serta memanfaatkan AI secara etis.